Rabu, 11 Maret 2009

Kita Butuh Makan, Bukan Bom!!

Segala yang gratisan memang rasa-rasanya menyenangkan, apalagi gratisan yang mengenyangkan, pasti akan lebih menyenangkan sekali. Tapi…, lho kok ada tapinya! Btw, kenapa ya sepertinya segala hal harus ada TAPI di belakangnya. Apa karena memang tidak ada sesuatupun yang mutlak atau absolut di dunia ini, sehingga segala sesuatu akan selalu berpotensi untuk di-tapi-kan. Seperti segala metode statistika yang akan selalu mengandung standar error/penyimpangan. Sekecil apapun prosentasenya toh kesalahan tetaplah kesalahan, dan tidak seharusnya bisa digunakan sebagai alat/alasan untuk segala klaim kebenaran absolut beralaskan ilmiahisme. Ah, whatever-lah!

Gratisan yang mengenyangkan, itulah yang coba dikampanyekan kawan-kawan ketika mengorganisir aksi/acara FNB (Food Not Bomb), khususnya di malang: bersenang-senang, kenyang, gratis pula, selesai. Selesai? Tentu belum, kan masih ada tapi-nya. Dan tulisan ini mencoba mengisi bagian tapi itu tadi. Jadi anggap saja ini semacam kritik/oto-kritik. Secara sepintas memang sepertinya tak pernah ada yang benar-benar gratis di dunia kita yang mungil ini. Gratis seperti air hujan? Ah,belum tentu. Siapa yang tahu curahnya tiba-tiba berlebihan dan malah banjir. Atau gratis seperti udara yang kita hirup? Tapi, kalo ternyata ada racun yang mengambang lalu terhirup, mengkontaminasi paru-paru? Meskipun gratis toh kalo terlalu berlebihan dan gak jelas asal-usulnya nanti malah bikin pusing di belakangnya. Memang sepertinya bukan sesuatu yang wajar, hari gini ngomong gratisan.

Seperti pas acara kemaren, banyak pertanyaan-pertanyaan basa-basi seperti: ini panitianya dari partai mana, organisasinya apa, maksudnya apa, yang di luar ketidakfamiliaran masyarakat umum pada istilah FNB, wajar muncul hal-hal seperti itu. Apalagi waktu itu kan masa-masanya musim pilkada, apalagi sempat juga diadakan pas tanggal 17 agustus, apalagi pas masa dekat pemilu. Ada yang kuatir makanannya beracun, atau asal-usulnya gak jelas. Semua mengarah pada hal-hal di belakang gratisan itu tadi, kanapa bisa gratis, kenapa kok digratisin, dsb.

Sebagai semacam klarifikasi, semua makanan yang sempat disajikan, bahan utama sayur-mayurnya didapat dari donatur, petani di daerah batu, malang, yang kebetulan selalu mengalami over produksi akibat tuntutan sistem pasar. Sedangkan untuk beras, bumbu-bumbu, dan kebutuhan lain seperti alat-alat untuk workshop/skill sharing, kawan-kawan yang terlibat berkolaborasi, berkompilasi, dikerjakan secara bareng-bareng. Maka FNB bisa dibuka untuk umum. Halal, sehat, bersih, layak makan, layak pakai, dan gratis!

Masalahnya, ternyata kita tak seharusnya terjebak dan berhenti pada kata ‘gratis’ itu sendiri. Apalagi, parahnya, ada orang-orang yang cenderung mereduksi aksi FNB menjadi sekedar sebuah ‘acara amal’, bagi-bagi makanan gratis, malahan mungkin ada yang menganggap FNB adalah semacam jalan untuk menambah pahala, katakanlah semacam kegiatan bakti sosial, hehee..

Saya sendiri juga belum tahu persis, dulu pas pertama kali orang-orang di luar sana kepikiran untuk bikin aksi yang di kemudian hari kita kenal dengan istilah FNB, apa sebenarnya yang mereka harapkan, apa yang mereka tuntut. Tapi saya memahami bahwa jika kita sepakat bahwa kita butuh aksi semacam FNB tentu ini tak lepas dari situasi dan kondisi lingkungan dunia dimana kita tinggal. Salah satunya adalah kenyataan bahwa ada ketidakberesan dalam hal produksi sampai distribusi makanan di sekitar kita, yang ujungnya adalah kelaparan dan ketidakberdayaan.

Coba kita rewind, kenapa petani donatur kita itu bisa dan mau ngasih gratis? Ini tidak lepas dari sistem produksi yang dia jalankan. Secara sederhananya, untuk bisa ‘menembus’ pasaran dia harus terus-menerus menghasilkan sayur melebihi ekspektasi/perkiraan kebutuhan pasar yang dia sasar. Dengan pasar yang diasumsikan menuntut produk-produk bermutu yang telah disaring, disortir, sehingga ‘layak konsumsi’, maka dia harus memproduksi lebih banyak lagi sayur dengan spesifikasi atau standar yang telah ditentukan sebelumnya oleh yang namanya pasar. Dengan demikian peluang untuk lolos sortir juga lebih besar. Maka terjadilah selalu over produksi. Selalu ada produk-produk sisa. Biasanya produk sisa ini dimanfaatkan untuk tambahan bahan pakan ternak, atau dijual lagi dengan harga miring pada pasar yang lain, dan ternyata tetap saja masih banyak sisanya, yang terkadang juga dibuat pupuk organik, atau dengan kata lain: dibuang!

Keseluruhan proses ini selain menciptakan sistem produksi berbiaya tinggi, pastinya juga lebih cepat menyerap unsur-unsur hara/makanan dari lahan pertanian, sehingga nantinya akan dibutuhkan lebih banyak lagi pupuk. Dan sialnya, biasanya petani lebih percaya pada pupuk-pupuk sintetis buatan pabrik. Padahal, dalam prakteknya, pupuk sintetis ini menjadi semacam candu. Semakin sering digunakan, maka besoknya akan semakin banyak dosis yang dibutuhkan. Lagi-lagi ujungnya adalah membengkaknya biaya produksi.

Tak beda juga dengan proses produksi di ruang-ruang rumah makan turunan dari luar semacam McD, PizzaHut, dll, yang kemudian banyak diadopsi oleh banyak produk-produk serupa (cuma beda label) dari negeri sendiri. Dari sedikit penelusuran yang sempat kami lakukan, biasanya mereka sengaja menimbun bahan-bahan makanan ini (tentu saja setelah disortir menurut spesifikasi ‘makanan bagus’ menurut persepsi mereka), hanya untuk kebutuhan beberapa hari. Berdasarkan ‘standar operasi’ yang mereka punya, proses penimbunan ini akan didukung dengan budget/perkiraan biaya yang kalo di indonesia jumlah nominalnya gak tanggung-tanggung. Dan semua itu bukan berdasar murni atas kebutuhan konsumsi rata-rata harian, tapi lebih kepada pemenuhan sebuah standar produksi/operasi itu tadi. Yah, kita semua tahu apa yang sebenarnya mereka jual.

Image, gaya hidup, trend, kelas-kelas sosial, sensasi, ya hal-hal semacam itulah yang sebenarnya mereka produksi. Sehingga ketika timbunan-timbunan makanan yang disediakan untuk satu dua atau tiga hari ini masih bersisa, maka gak perlu mikir ato menyesal lagi, mereka akan membuangnya begitu saja. Tidak layak makan, tidak layak pakai, katanya. Lalu mereka akan menyerap dan menimbun kembali bahan-bahan yang baru, sekali lagi bukan berdasar atas kebutuhan riil konsumsi, tapi lebih kepada pemenuhan standar operasi mereka itu. Dan sialnya, ketika mereka berniat membuang sisa bahan tak terpakai tadi, mereka akan benar-benar membuangnya: benar-benar ke tempat sampah! Lebih busuknya lagi, biasanya mereka akan mencampurkannya dengan bahan obat-obatan kimiawi pembusuk, sehingga bahan sisa yang sebenarnya masih sangat bisa dikonsumsi ini malah akan benar-benar menjadi sampah, dan malah berbahaya bila sampai dimakan.

Dari hal-hal seperti itu tadi adalah sedikit contoh bagaimana bahan-bahan makanan sampai ke tangan dan mulut kita sebagai konsumen akhir, dengan harga yang bisa dibilang tak murah. Artinya, kita juga yang sebenarnya terpaksa turut membiayai biaya-biaya siluman dalam rantai proses produksi dan distribusi makanan. Ini belum lagi kalo kita membicarakan tentang proses pasar itu sendiri. Bagaimana suatu produk bisa muncul dan menghilang di pasar, bagaimana orang-orang bisa tergila-gila dan kecanduan terhadap suatu merk dagang, atau tentang bagaimana suatu tingkat harga bisa terbentuk. Ambil contoh tentang telur yang hari ini misalnya berharga 5000 rupiah per kilonya, lalu selang beberapa menit kemudian dengan ajaibnya harga bisa saja berubah menjadi 5500 rupiah per kilo, padahal itu masih telur-telur yang sama persis dengan yang tadi, yang juga keluar dari lubang dubur ayam yang sama.

Proses pasar memang ajaib, bukan lagi tentang supply-demand semacam yang diajarkan di sekolah-sekolah dengan teori-teori ekonomi ortodoksnya itu. Sebelum lebih jauh, saya minta maaf karena saya harus meloncat-loncat dan menyentuh materi-materi seberat ini, tapi saya tak bisa mengelak, saya harus menuliskannya karena semua ini memang sangat berhubungan dan ternyata kita hidup dalam kubangan ini.

Ekonomi ortodoks baku menyatakan, jika supply (tingkat penawaran) bertambah maka harga akan turun, jika demand (tingkat permintaan) bertambah maka harga akan cenderung naik, dan sebaliknya. Asumsinya sederhana: jika produk-produk yang ada di pasar masih berlimpah (baik karena memang jumlah per unitnya over, atau orang masih belum membutuhkannya), maka orang juga gak rela menghamburkan uangnya begitu saja. Tapi jika produk tersebut menipis (mungkin karena menjadi langka di pasaran atau terlalu banyak orang yang meminatinya), maka orang-orang akan lebih rela berjibaku untuk mendapatkannya, berapapun harganya, apapun taruhannya, begitulah kira-kira.

Lalu apakah itu berlaku absolut? Ah, tentu saja tidak! Apa coba yang absolut di dunia ini? Lihat saja, supply manusia-manusia yang berlimpah siap ditawarkan di parlemen, yang nantinya kita sebut sebagai dewan legislatif, makin bertambah. Tapi harga yang harus kita bayarkan untuk ‘membeli’ mereka ternyata juga semakin mahal. Atau seperti tingkat kebutuhan guru di daerah-daerah terpencil, pemerintah (penguasa) mengklaim itu suatu kebutuhan mutlak. Sedangkan calon-calon guru yang ada malah enggan datang ke sana. Seharusnya dengan kondisi seperti ini harga guru yang akan masuk ke sana akan naik drastis. Nyatanya, kebanyakan guru yang didatangkan dan ditugaskan ke sana malah mendapatkan harga yang minimal. Hehee.. aneh..

Atau, lihat yang ini, dulu harga pulsa selular untuk satu kali kirim sms rata-rata adalah 350 rupiah, sekarang berkurang lebih dari separo harga yang lama, menjadi rata-rata 150 rupiah. Kok bisa? Apa karena biaya produksi untuk pulsa berkurang? Ah, enggak juga. Kita baru tahu kalo ternyata selama ini harga 350 tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan, negosiasi pasar, dari para produsen/investor/pemilik modal perusahaan-perusahaan telekomunikasi di indonesia. Mereka sih menyebutnya konsorsium, tapi saya lebih suka menulisnya sebagai sebuah konspirasi.

Saya pernah iseng coba bertanya ke seorang teman yang kebetulan menjadi karyawan di salah satu perusahaan telekomunikasi tersebut tentang harga pulsa. Kira-kira pertanyaannya seperti ini: “bang, bang, nanya dong.. sebenernya berapa sih harga produksi pulsa di endonesa ini? kok katanya harga jualnya termasuk paling mahal di dunia?!” Hehee.. Ya tentu saja sulit untuk menjawabnya. Selain, karena menjelaskan tentang istilah satuan pulsa itu sendiri juga butuh konsentrasi, secara hirarkhis-fungsional dia ini tidak bersentuhan dengan wilayah hitung-menghitung semacam itu. Informasi detail tentang hal ini nampaknya juga tak pernah dia dapatkan. Tugas dia di situ cuma menjual, menjual, dan terus menjual, gak boleh tanya dan menuntut yang aneh-aneh. Maka pertanyaan aneh itu tadi tetap menggantung tak selesai.

Tapi seharusnya memang ada perhitungan atau kalkulasi tentang biaya produksi. Kalo tidak, bagaimana bos-bos perusahaan tersebut bisa menentukan harga untuk tagihan-tagihan dan gaji para pegawainya. Logika sederhananya: Laba = Harga Jual – Biaya Produksi. Berarti, Biaya Produksi = Harga Jual – Laba. Nah, kalo Harga Jualnya sudah pasti, dan Tingkat Laba bisa dilacak, masa gak bisa menghitung Biaya Produksi Per Unitnya?

Yah, tentu saja masalahnya bukan pada ketiadaan ilmu hitung atau tingkat pendidikan yang kurang tinggi, tapi lebih pada praktek monopoli informasi. Sistem yang ada memang tidak menghendaki seorang pegawai ‘yang tidak berkepentingan’ untuk turut campur mengintip rahasia dapur. Secara ekstrim bisa dibilang bahwa seorang pekerja akan nampak tak paham pada apa yang dia kerjakan, selain hanya patuh lalu dibayar, itu saja. Dan semua itu menegaskan bagaimana suatu kejahatan yang terstruktur/tersistem bisa berjalan mulus lagi langgeng. Dan apakah saya akan menjelaskannya di sini? Satu-satu dan runtut? Ah, ayolah educate yourself, iya kan?!

Dari contoh-contoh tadi, intinya sih saya sendiri juga belum yakin dan percaya bahwa GRATISAN itu ada. Artinya, gak bisa dong hanya bergantung pada donasi dari petani tanpa kita sendiri juga mau memahami dan sukur-sukur terlibat langsung dengan proses produksi yang dia jalani. Gak mungkin juga kalo cuma niat mengemis, merampas, men-squat, menjajah atau membajak. Kan lebih enak kalo pake semangat saling berbagi, semacam praktek file-sharing atau copyleft, jadi ada timbal-baliknya begitu.

Bayangkan, semisal kamu punya band, setelah abis-abisan latihan keluar-masuk studio, lalu berproduksi, merilis sebuah full album lengkap dengan segala merchandisenya, dan ternyata itu dibagikan secara gratis begitu saja ke orang-orang. Band kamu gak akan dapat reward apa-apa, kecuali puja dan puji-pujian. Lalu apakah nantinya band kamu tersebut masih akan sanggup bertahan? Pasti bisa! Itu kalo band kamu punya sumber-sumber donasi lain yang bisa diandalkan. Atau menjual tiket dengan harga yang pantas pada setiap show misalnya.

Atau situasi di dalam keluarga di mana kita bisa makan gratis tiap hari misalnya, pikir lagi darimana keluarga kita bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomis tersebut? Harus ada sumber-sumber produksi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi. Dan ini pun banyak variasinya. Merujuk pada pola-pola perkembangan ekonomi masyarakat, apa yang kita lakukan kemarin mirip semacam metode survival hunt & gathering, berburu dan meramu, seperti pola praktek ekonomi masyarakat primitif dahulu kala. Untuk kondisi umum jaman sekarang, pola hunt & gathering rasanya juga gak sehat, ntar malah terjerumus jadi acara-acara sosial dan membiasakan orang untuk mengemis, tau kan mengemis?

Kalo dulu masyarakat primitif kemudian berkembang menjadi masyarakat pengolah lahan, bercocok tanam, berproduksi dengan cara mengelola langsung sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, dan berorientasi ekonomi ke depan atau jangka panjang, maka FNB hari ini harus dikembangkan ke arah produksi. Kita tahu bahwa dalam konsep berbagi, justru proses produksi adalah satu tahap yang banyak dilewatkan. Umumnya kita beranggapan bahwa tak ada sistem/pola berproduksi selain pola-pola yang sudah dimapankan selama ini, dimana selalu ada yang berposisi menjadi majikan dan yang lain berperan menjadi buruh, dimana sang majikan akan semakin kaya, sedang si buruh akan tetap seperti semula, itu jika dia beruntung tidak menjadi semakin miskin. Sedangkan pemerintah (penguasa) dengan segenap legitimasi sebagai sosok penengah malah lebih sering tergagap dalam mengelola hal-hal prinsipil dalam hal produksi ekonomis maupun pendistribusian hasil-hasilnya. Kebijakan yang diputuskan (sepihak) juga lebih sering bersifat kalang kabut, sehingga mereka punya alasan untuk meminta bayaran mahal atas jasanya ‘pusing memikirkan rakyat’. Capek dan pusing dibikin sendiri, tapi rakyat yang dikompas!

Lalu berkenalanlah kita dengan apa yang kita sebut saja: PUNK, yang berpikir bahwa masyarakat harus mampu mengelola dirinya sendiri. Yang meyakini bahwa sumber-sumber daya produktif yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti air, udara, tanah, minyak, dan listrik, harusnya bisa dikelola bersama, daripada diserahkan dan dipasrahkan begitu saja kepada monopoli sekelompok orang yang bahkan tak pernah kita kenal atau kepada pemerintah (penguasa) yang gagap, despotik, lalim nan kejam nian.

Kita tahu bahwa bumi ini secara keseluruhan sebenarnya cukup kaya untuk menghidupi makhluk-makhluk yang tinggal di atasnya. Tapi karena pola-pola penguasaan monopolistik kapitalistik dalam pengelolaannya maka semua jadi hancur. Kekuasaan selalu mensyaratkan adanya tumbal-tumbal. Sistem yang dimapankan saat ini berujung pada matinya sektor-sektor produktif, sehingga harga bahan pangan cenderung mahal dan semakin tak terjangkau, sementara bahan pangan yang ada tidak termanfaatkan secara maksimal.

Aksi-aksi semacam FNB, yang banyak diadopsi ke dalam kultur punk sendiri, mencoba mencari celah-celah dari sistem tersebut untuk bisa bersenang-senang sesaat. Sesaat, karena pada kenyataannya FNB sendiri belum banyak membongkar dan mengajukan sistem/pola alternatif dan tandingan dalam hal produksi, khususnya yang berkaitan dengan masalah pangan. Sekedar review, dalam hal produksi musik dulu pola-pola industri major label nampak bisa diatasi dengan pola indie label/underground. Pada perkembangan lebih lanjut indie label toh bertingkah dan berpolah sama dengan major. Bahkan banyak yang memahami dan mereduksinya menjadi hanya sebuah istilah bagi band ‘kelas teri’ dan gerombolan musik ‘kelas kampret’. Masalahnya, dari kalangan indie pun sebenarnya juga belum pernah tuntas dalam hal penerapan pola-pola penghidupannya sendiri. Mungkin ini semua sama sekali bukan hal penting bagi kalian yang cuma masuk scene gara-gara selera musik dan cari teman tidur belaka. Percayalah, suatu saat nanti kalian akan merasa mual mules perih kembung dan kuping kalian akan menjadi pedih merintih setiap kali mencoba mendengar musik-musik non-mainstream, sehingga kalian beserta pasangan-pasangan kalian akan beralih mencintai kangen band dan selalu berteriak kegirangan tiap kali berhasil menambah koleksi poster dan foto-foto setiap personilnya.

Sama seperti itu, bagaimana jika misalnya FNB gak ada lagi donasi dari petani, ato dari sisa pasar, karena misalnya petaninya tiba-tiba sudah tidak berproduksi lagi, atau semua hasil produksi pangan sudah habis terserap pasar. Atau jika para volunteernya sudah terlalu malas untuk berkontribusi atau gak sempat lagi ngasih donasi waktu atau tenaga, misal karena tuntutan-tuntutan susu untuk anak dan sibuk membayar tagihan-tagihan sekolah anak dan belanja bulanan. Intinya, gak bisa lagi hunt & gathering. Apa lalu FNB akan jadi aksi teriak-teriak: “kasih kami makan!!” atau “hooii.. ada yang kelaparan di sini..!!”

Ada yang lebih penting dari makan gratis, apalagi gratis yang cuma sehari dua hari. Itu kenapa saya banyak ngomong tentang produksi. Dari sini FNB harus bisa berperan mencari dan mengembangkan alternatif-alternatif sistem/model produksi yang lebih sehat, seperti harapan kita semua. Dan ujungnya adalah makanan, sebagai sesuatu yang vital, bukan lagi menjadi sesuatu yang mahal, tak terjangkau, dan apalagi banyak dibuang sia-sia.

Secara pribadi saya memang belum mampu untuk menawarkan sebuah solusi yang cemerlang gegap-gempita untuk poin masalah tersebut (lagipula saya masih terlalu takut untuk menjadi sebuah dogma buat dunia.., dan tulisan ini sebenarnya sekaligus juga sebagai ajakan ato permintaan bantuan untuk menemukan dan mengembangkan model-model produksi alternatif itu tadi), tapi minimal kita bisa saja melakukan usaha-usaha semacam merebut kembali kendali atas hak pengelolaan sumber daya. Misal dengan mencoba menanami lahan-lahan produktif yang masih kosong ato lahan-lahan kososng yang berpotensi bagi produksi bahan makanan. Kita bisa menerapkan pola distribusi alternatif yang lebih fair dan murah tanpa campur tangan ‘mafia’ pasar. Atau mencari celah untuk mengambil kompensasi atas rusaknya lahan serta sumber daya produksi, dengan cara-cara halus terukur hingga kasar menggerinda.

FNB sendiri sangat berpotensi untuk membuka kembali ruang-ruang publik dimana setiap orang yang interest akan saling terlibat dan berbagi alternatif sistem hidup di luar model yang sudah dimapankan atau didogmakan selama ini.

Yang jelas, FNB harus bisa menepis dan menolak konsep-konsep amal, bakti sosial, dan segala hal berbau ibadah instan. Lebih penting lagi, berusaha menolak ketergantungan ekonomi, melawan ideologi serta praktek-praktek para neoliberalis berkedok pasar bebas yang nyata-nyata jauh dari membebaskan. Kalo bisa malah menolak adanya ketergantungan masyarakat terhadap sell/grup-grup FNB itu sendiri. Artinya, dengan semakin banyak orang yang bisa terlibat, berbagi, dan berperan sebagai sebuah sel, maka akan semakin meminimalisir kemungkinan adanya dominasi/monopoli baru dalam hal pendistribusian bahan pangan.

Atau, kita bayangkan saja FNB sebagai semacam simulasi sederhana dari cara bekerjanya masyarakat anarkis, dimana setiap individu yang ada bisa bertanggung-jawab atas segala aktifitasnya tanpa dikekang oleh segala norma protokoler hirarkhis manipulatif. Masing-masing individu bisa berkoordinasi secara mandiri tanpa kehilangan otonomi individualnya. Bayangkan, kita bisa bersenang-senang dan tetap kenyang, sangat menyenangkan. Apalagi kalo gratis.. Gratis, seperti coli di depan tv.. hehee.. Eh, maap.. Gratis, karena gratisan itu menyenangkan.

Bom-bom dalam berbagai bentuk dan wujud terus ditebar di sana-sini, sedang ruang kita untuk bernafas, makan, dan berinteraksi dengan nyaman terus dihimpit. Kita sangat butuh sistem yang mampu menghidupkan, bukan yang malah mematikan!

planetmungil@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar